Minggu, 04 Desember 2016

PENDIRIAN JAMIYAH NAHDLOTUL ULAMA

Tags

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kyai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kyai Hasyim Asy'ari (Jombang) dan Kyai Cholil (Bangkalan).

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kyai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kyai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah/organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai Pondok Pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum  Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kyai Wahab pada tahun 1924 di  Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti "potret pemikiran" ini dibentuk wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar untuk membentuk jamiyyah, maka Kyai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kyai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kyai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dansuasana yang melanda batin Kyai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kyai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As'ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

"Saat ini Kyai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya," titah Kyai Cholil kepada As'ad. "Baik, Kyai," jawab As'ad sambil menerima tongkat itu.

"Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kyai Hasyim," kata Kyai Cholil kepada As'ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya'." Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, wahai Musa!" Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat", Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar."


Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kyai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As'ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As'ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kyai Hasyim. Tongkat dari Kyai Cholil untuk Kyai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As'ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kyai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kyai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As'ad segera ke kediaman Kyai Hasyim. Kedatangan As'ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As'ad merupakan utusan khusus gurunya, Kyai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As'ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, " Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini," kata As'ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. "Apa masih ada pesan lainnya dari Kyai Cholil?" Tanya Kyai Hasyim. "ada, Kyai!" jawab As'ad. Kemudian As'ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kyai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kyai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kyai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat ituproses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kyai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kyai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kyai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kyai Hasyim meminta Kyai Wahab untuk menemui Kyai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kyai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kyai Nawawie. Setibanya di sana, Kyai Wahab segeraa menuju kediaman Kyai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kyai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kyai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kyai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kyai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. "Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan." Pesan Kyai Nawawi.

Proses dari sejak Kyai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kyai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kyai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat "Musa" yang diberikan Kyai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kyai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud "sesuatu" yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.


Sampai pada suatu hari, As'ad muncul lagi di kediaman Kyai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kyai Cholil Bangkalan. " Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini," kata As'ad sambil menyerahkan tasbih. "Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu," tambah As'ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kyai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kyai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kyai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, "jabang bayi" yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Daftar Pustaka
Dikutip dari. Buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006.

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon