Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta terletak di kampung Mangkuyudan dan tepatnya di Jalan KH. Samanhudi No. 64 Mangkuyudan Surakarta. Pemilihan lokasi ini dinilai sangat strategis bagi para santri yang mondok di Al-Muayyad, baik santri yang berpendidikan formal maupun non formal.
Adapun batas-batas lokasi Pondok Pesantren A1-¬Muayyad Surakarta adalah sebagai berikut:
Adapun batas-batas lokasi Pondok Pesantren A1-¬Muayyad Surakarta adalah sebagai berikut:
- Sebelah barat berbatasan dengan kampung Tedipan.
- Sebelah timur berbatasan dengan karnpung Tegalsari
- Sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan Purwosari.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Bumi.
Nama Al- Muayyad secara harfi’ah berasal dari kata “Ayyada” yang berarti menguatkan, sehingga yang dimaksud Al-Muayyad berarti sesuatu yang dikuatkan. Harapan yang tersirat dari nama tersebut adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan atau didukung oleh kaum muslimin.
Nama Al-Muayyad diberikan oleh ulama karismatik yang bernama KH. Al-Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari Klaten. Semula nama ini untuk sebuah Masjid di komplek pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama sebuah lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Kepemimpinan pondok pesantren Al-Muayyad ini terbagi dalam tiga generasi, yaitu Masa KH. Abdul Mannan, KH. Ahmad Umar Abdul Manan dan pada ketiga di pegang oleh KH. Abdul Rozaq Shofawi.
Nama Al-Muayyad diberikan oleh ulama karismatik yang bernama KH. Al-Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari Klaten. Semula nama ini untuk sebuah Masjid di komplek pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama sebuah lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad.
Kepemimpinan pondok pesantren Al-Muayyad ini terbagi dalam tiga generasi, yaitu Masa KH. Abdul Mannan, KH. Ahmad Umar Abdul Manan dan pada ketiga di pegang oleh KH. Abdul Rozaq Shofawi.
1.Generasi Pertama (KH. Abdul Mannan)
Al Muayyad dirintis tahun 1930 oleh Simbah KH. Abdul Mannan di atas tanah seluas 3.500 m2 yang diwakafkan sahabat karibnya yaitu Ahmad Shofawi di Kampung Mangkuyudan Kalurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kotamadya Surakarta. Semula merupakan pondok pesantren dengan corak Tasawuf dalam arti pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari'at Islam dan belum melakukan pendalaman ilmu-ilmu agama secara teratur. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak.
Nama kecil Simbah KH. Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya. Kyai Chasan Adi, yang seorang Demang di Glesungrejo Baturetno Wonogiri. Setelah diterima nyantri di Kadirejo diganti oleh Kyai Ahmad menjadi Bukhori. Dan usai menunaikan ibadah kaji tahun 1926, menjadi Abdul Mannan.
Selama nyantri di situ, Tarlim yang menjadi Bukhori selalu mengisi bak mandi Kyai yang dibangunnya sendiri. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap diisi sampai air menyebar. Tufu'ul atau harapan beliau adalah agar kelak ilmu anak keturunannya mampu menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama.
Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara beliau dengan K.H. Ahmad Shofawi, santri putra hartawan yang shalih. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. dan keduanya juga dikenal wira'i (cermat dan hati-hati menjalankan syari'at), suka riyadzah (prihatin demi cita-cita luhur), serta taat kepuda para guru dan Kyai. Remaja Buchori bercita-cita menjadi hafidh Al Qur'an dan menyebarluaskan ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi hafidhul Qur'an tidak bisa terwujud. Hal itu disyaratkan oleh Kyai Ahmad saat menenangkan Bukhori yang menangis mengikuti semaan Al-Qur'an yang menampilkan remaja hafidzul Qur'an berusia 11 tahun. Isyarat Kiai Ahmad, kelak anak keturunannyalah yang mampu mewujudkan cita-cita itu. Dan benar tiga putra dan tiga putri beliau berhasil menjadi hafidz dan hafidzah, 5 diantaranya ketika beliau masih hidup.
Sementara KH. Ahmad Shofawi memiliki 3 cita-cita: berkediaman di dekat (mangku) Masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal "berbendera Islam", dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok pesantren. Ketiga cita-cita itu tercapai. Bahkan beliau mampu mendirikan/membangun Masjid Tegalsari di Kampung Tegalsari Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Surakarta, tahun 1928, dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek Masjid itu adalah K.H.R. Prof. Mohammad Adnan yang juga pendiri PTAIN kini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
KH. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan karenanya "berbendera Islam". Kaitannya dengan cita-cita kedua, akhirnya putra beliau, KH. Abdul Rozaq Shofawi menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad menggantikan pamandanya KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, KH.Abdul Mu'id Ahmad dan H. Muhammad Idris Shofawi. Sementara putri bungsu beliau, Nyai Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pandok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabu Kedungjati Grobogan.
Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat daar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan para karyawan Perusahaan batik "Kurma" milik KH. Ahmad Shofawi sendiri, dan Kyai Damanhuri (seorang pengelana dari Cilacap). Kyai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat KH. Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar.
2.Generasi Kedua (KH. Ahmad Umar Abdul Mannan)
Hanya 7 tahun Simbah KH. Abdui Mannan memimpim, Pesantren, sebab tahun 1937 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya, KH. Ahmad Umar Abdul Mman, waktu itu berusia 21 tahun, sekembali beliau dari belajar di pesantren-pesantren : Krapyak (Yogya), Termas (Pacitan), dan Mojosari (Nganjuk). Mulailah Al-Muayyad sebagai sebuah pondok pesantren dengan kurikulum yang menitik beratkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam.
Pengajian Al- Qur'an dan kitab kuning makin teratur, sehingga dipandang perlu mendirikan Madrasah Diniyah pada tahun 1939. sekalipun beberapa madrasah/sekolah kemudian menyusul didirikan. Al-Muayyad dikenal sebagai Pesantren Al - Qur'an. Hal ini dimungkinkan karena pengajian Al-Qur'an menjadi inti pengajaran hingga kini dan K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan sendiri dikenal sebagai ahli di bidang Al-Qur'an dengan sanad (silsilah ilmu) dari KH. R. Mohammad Moenawwir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Nama Al-Muayyad diberikan oleh seorang ulama besar Guru/Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah yang bernama KH. M. Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Semula nama ini untuk Masjid di kompleks pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama semua lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren. Al-Muayyad dari kata ayyada berarti sesuatu yang dikuatkan. Tafa'ul atau harapan yang tersirat di dalamnya adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan/didukung oleh kaum muslimin.
Sejalan dengan meluasnya program pendidikan, para Kyai yang mendukungpun bertambah: Tercatat antara lain : KH. Abdullah Thohari, Kyai Ahmad Muqri, Kyai Idris, Kyai Danuri, Kyai Sono Sunarto, KH. RNg. M. Asfari Prodjopudjihardjo (Mbah Bei), KH.M.Shobari, KH.Moh. Yasin, KH.R.Moh. Jundi, KH.M.Suyuthi, KH. Abdul Ghoni Ahmad Sadjadi, KH. MochtarRosyidi, Kiai M.Kofi'i, dan KH.Ahmad Musthofa yang kemudian mendirikan pondok pesartren Al-Qur'ani di sebelah utara Al-Muayyad.
Sebagai pesantren yang dirintis dan tumbuh di masa perjuangan kemerdekaan, riwayat panjang menyertai Al-Muayyad. Di waktu itu banyak santri dan Kyai yang malam hari ikut bergerilya, sementara siang hari sibuk mengaji dan belajar. sebagian besar juga turut khidmat/kerja bakti sukarela sebagai tukang dalam membangun masjid, asrama santri dan fasilitas pesantren lainnya.
Masjid di tengah kompleks Al-Muayyad, dibangun bulan Maret 1942, berbarengan dengan kedatangan balatentara Jepang di tanah air. Batu penyangga keempat tiang utama (saka guru) Masjid ini berasal dari saka guru bekas kediaman Pangeran Mangkuyudan. Tahun 1947 dibangun asrama putra, 12 kamar. Begitu selesai, meletus Agresi Belanda l. Para santri dan Kyai Pejuang mendapatkan informasi bahwa Tentara Pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak.
Kyai-kyai sepuh menasihatkan agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru itu terpaksa dirusak agar tak layak huni. Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikat dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan menanami halamannya dengan ramput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menampakkan kesan bahwa pondok ini tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama itu tidak jadi dipergunakan sebagai barak. Dalam situasi yang menegangkan itupun, kegiatan mengaji tetap berlangsung meski secara sembunyi-sembunyi dengan penerangan lampu kecil minyak tanah (ublik).
Justru karena letaknya yang di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang, baik yang tergabung dalam kesantuan hizbullah, sabilillah maupun barisan kyai.
Setelah situasi tenang dengan kemenangan di pihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952, asrama itu dibangun kembali. Masjid diperluas hingga hampir dua kali lipat. Para santri berdatangan dari berbagai daerah yang lebih jauh. Namun situasi tenang ini tidak berlangsung lama, sebab agitasi PKI tahun 1960-an membangkitkan suasana perjuangan di kalangan, santri dan Kyai Al-Muayyad. Pondok menjadi ajang pelatihan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dan Fatser (Fatayat Serbaguna).
Tragedi Nasional G 30 S/PKI tahun 1965, sempat melumpuhkan kegiatan mengaji para santri. Sebagian aktif bersama-sama ABRI menumpas G 30 S/PKI, dan sebagian lagi diminta pulang untuk menjaga keamanan. Alhamdulillah tragedi berakhir dan suasana tenang kembali tercipta.
Refleksi atas sejarah itu melatarbelakangi para santri dan pengasuh Al-Muayyad untuk menyebut almamaternya sebagai Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI).
Ciri khas KH. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kepemimpinan adalah kuatnya kaderisasi para kerabat, ustadz dan santri dengan membagi tugas dan tanggung jawab kepesantrenan kepada mereka. Beliaulah yang memprakarsai pembentukan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad (yang kemudian menjadi Yayasan), penyelenggaraan Pelatihan Teknis Tenaga Kependidikan bagi sekolah Madrasah Ahlussunnah Wal Jama'ah (PEPTA). Di masa beliau pula Al-Muayyad menjadi anggota Rabithah al- Ma'ahad al- Islamiyyah (RMI) Ikatan Pondok Pesantren.
3.Generasi Ketiga (KH. Abdul Rozaq Shofawi)
Setelah KH. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat tahun 1980, dalam usia 63 tahun, kepemimpinan Al-Muayyad diserahkan kepada KH. Abdul Rozaq Shofawi. Beliau nyantri di Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum, sambil kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan juga pada KH. Hasan Asy'ari Mangli Magelang. Selesai nyantri pada Mbah Mangli, tepat 3 tahun, KH. Ahmad Umar Abaul Mannan wafat.
Ibunda KH. Abdul Rozaq Shofawi adalah Nyai Siti Musyarrofah binti KH. Abdul Mannan, seorang hafidzah pada usia 16 tahun, yang diperistri KH. Ahmad Shofawi setelah istri pertama wafat. Dari pernikahan itu lahir KH. Abdul Rozaq Shofawi, Nyai Hj. Siti Mariyah Ma'mun, dan Siti Mun’imah yang wafat dalam usia 35 hari, 30 hari setelah ibunda wafat.
Setelah Nyai Siti Musyarrofah wafat KH. Ahmad shofawi memperisteri Nyai Hj. Shofiyah binti KH. Ahdul Mu'id dan menurunkan KH. Abdul Mu'id Ahmad, H. Muhammad Idris Shofawi, serta Nyai Hj. Siti Maimunah Baidhlowi.
Atas nasehat KH. Muhammad Ma'shum Lasem Rernbang, sepeninggal KH. Ahmad Shofawi, Nyai Hj. Shofiyah diperisteri oleh KH. Ahmad Umar Abdul Manan. Pernikahan ini tidak dikaruniai seorang putra pun.
Termasuk kejadian penting yang selalu diingat dalam generasi ketiga ini adalah terbakarnya kompleks pondok tanggal 31 Agustus 1982, 15 hari sebelum keberangkatan Pengasuh dan 7 sesepuh Al-Muayyad ke tanah suci menunaikan ibadah haji, yang menghabiskan 13 kamar santri, dapur santri, kediaman pengasuh dan perpustakaan KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang menghimpun ribuan kitab dan bahan pustaka yang tak ternilai harganya.
Musibah besar ini mengundang simpati besar masyarakat yang bergotong royong memberikan penampungan, keperluan makan minum, dan keperluan sekolah bagi 275 santri putra yang kehilangan tempat tinggal dan perlengkapannya. Masyarakat juga bahu membahu dengan pengurus merehabilitasi asrama dan kediaman pengasuh, sehingga dalam waktu 40 hari bangunan-bangunan itu telah pulih kembali.
Dalam generasi ketiga inilah, Al-Muayyad melestarikan sistem kepesantrenan yang diidamkan dan dikembangkan oleh dua generasi pendahulunya. Yayasan yang menjadi tulang punggung manajemen pesantren diaktifkan, sehingga pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab nara pengelola bisa dibakukan. Dengan pola semacam itu, Al-Muayyad berkeinginan mampu mewadahi dukungan masyarakat luas bagi penyiapan generasi muda dalam wadah pesantren dengan manajemen terbuka, karena pesantren sesungguhnya milik masyarakat.
Sampai dengan kini PP Almuayyad, memiliki fasilitas pendidikan sebagaimana berikut:
- 1930-1937 : Pengajian Tasawuf
- 1937-1939 : Pengajian Al-Quran
- 1939 : Berdiri Madrasah Diniyyah
- 1970 : Berdiri MTs dan SMP
- 1974 : Berdiri Madrasah Aliyah
- 1992 : Berdiri Sekolah Menengah Atas
- 1995 : Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya
(Sumber PP. Almuayyad. http://almuayyad.org).
EmoticonEmoticon