Minggu, 04 Desember 2016

PENDIRIAN JAMIYAH NAHDLOTUL ULAMA

Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kyai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kyai Hasyim Asy'ari (Jombang) dan Kyai Cholil (Bangkalan).

Bermula dari keresahan batin yang melanda Kyai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kyai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah/organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai Pondok Pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.

Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum  Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kyai Wahab pada tahun 1924 di  Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti "potret pemikiran" ini dibentuk wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar untuk membentuk jamiyyah, maka Kyai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kyai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kyai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dansuasana yang melanda batin Kyai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kyai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As'ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.

"Saat ini Kyai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya," titah Kyai Cholil kepada As'ad. "Baik, Kyai," jawab As'ad sambil menerima tongkat itu.

"Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kyai Hasyim," kata Kyai Cholil kepada As'ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah berfirman: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya'." Allah berfirman: "Lemparkanlah ia, wahai Musa!" Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat", Allah berfirman: "Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar."


Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kyai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As'ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As'ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kyai Hasyim. Tongkat dari Kyai Cholil untuk Kyai Hasyim dipegangnya erat-erat.

Meski sudah dibekali uang, namun As'ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kyai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kyai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.

Sesampainya di Jombang, As'ad segera ke kediaman Kyai Hasyim. Kedatangan As'ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As'ad merupakan utusan khusus gurunya, Kyai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As'ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, " Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini," kata As'ad seraya menyerahkan tongkat.

Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. "Apa masih ada pesan lainnya dari Kyai Cholil?" Tanya Kyai Hasyim. "ada, Kyai!" jawab As'ad. Kemudian As'ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.

Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kyai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kyai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kyai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat ituproses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kyai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kyai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kyai Nawawi Noerhasan.

Untuk itu, Kyai Hasyim meminta Kyai Wahab untuk menemui Kyai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kyai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kyai Nawawie. Setibanya di sana, Kyai Wahab segeraa menuju kediaman Kyai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kyai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kyai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kyai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kyai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. "Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan." Pesan Kyai Nawawi.

Proses dari sejak Kyai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kyai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kyai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat "Musa" yang diberikan Kyai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kyai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud "sesuatu" yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.


Sampai pada suatu hari, As'ad muncul lagi di kediaman Kyai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kyai Cholil Bangkalan. " Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini," kata As'ad sambil menyerahkan tasbih. "Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu," tambah As'ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kyai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.

Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kyai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kyai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, "jabang bayi" yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).

Daftar Pustaka
Dikutip dari. Buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006.

Sabtu, 03 Desember 2016

Masa Kanak-Kanak Nabi Muhamad SAW

Froebel mengungkapkan bahwa masa kanak-kanak merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Oleh karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas (golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan. Masa anak merupakan fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu karena pada fase inilah terjadinya peluang yang sangat besar untuk pembentukan dan pengembangan pribadi seseorang. 

Menurut Froebel, jika orang dewasa mampu menyediakan suatu “taman” yang dirancang sesuai dengan potensi dan bawaan anak, maka anak akan berkembang secara wajar. Adapun masa kanak-kanak Nabi Muhamad SAW adalah sebagaiman demikian. Dua tahun Muhammad tinggal di Sahara disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Shaima putrinya. Terjadi peristiwa kenabian ketika usia Muhammad dua tahun lebih sedikit. 

Ketika itu Muhammad sedang bermain bersama saudara dan teman-teman sebayanya lepas dari pengawasan keluarga, datang dua orang berbaju putih yang diduga keduanya adalah Malaikat. Diceritakan, anak dari keluarga Sa‘ad yang berlari pulang dan berkata kepada orang tuanya, bahwa saudaranya dari Quraysh itu (Muhammad) diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih-putih, ia dibaringkan, perutnya dibelah sambil diguncang-guncangkan dan dibalik-balikkan. Namun cerita ini sulit dipercaya baik di kalangan Muslim maupun orientalis, karena dianggap sumbernya lemah, yang melihat peristiwa itu adalah anak-anak kecil yang baru berusia dua tahun lebih sedikit, begitu pula dengan Muhammad . 

Sedangkan masa kanak-kanak Nabi Muhammad dalam catatan sirah Nabawiyah Karya Syaikh Safiurahman almubarakfuri dalah terbagi dalam beberapa kategori kejadian yakni: 

Kelahiran Nabi Muhamad SAW
  • Nabi Muhamad dilahirkan ditengah Bani Hasyim
  • Waktu kelahiran pada senin pagi, tanggal 9 Rabiul awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah dan empat puluh tahun dari setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, bertepatan dengan 20 atau 22 Bulan April Tahun 571 Masehi.
  • Pada saat melahirkan Nabi Muhamad kemaluan Ibunda Nabi memancarkan cahaya .
  • Pada saat Nabi dilahirkan bersamaan dengan itu terjadi peristiwa runtuhnya 10 balkon Istana Kisra Persia dan padamnya api yang biasa disembah orang majusi persia. Runtuhnya beberapa greja di sekitar Buhairah .
  • Setelah melahirkan, Ibunda Nabi (Aminah) mengirimkan utusan ke tempat kakeknya Abdul Mutholib untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya.
  • Abdul Mutholib membawa bayi Nabi masuk kedalam ka’bah kemudian mendoakanya, dan mengumumkan ke khlayak ramai dan menamainya Muhammad.
  • Nabi Muhamad dikhitan pada hari ke tujuh setelah kelaiharannya.
  • Wanita pertama yang menyusui Nabi setelah Ibundanya adalah Tsuwaibah hamba sahaya Abu Lahab yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelum itu wanita tersebut juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Salmah bin Abdul Asad Al-Makzumi.
Ditengah Bani Saad
  • Abdul Mutholib mencari wanita dari Bani Saad agar supaya menyusui Nabi Muhamad kecil.
  • Bani saad bin Bakr adalah orang-orang yang mendiami pegunungan zazirah arab (Orang Desa) yang menempati daerah yang belum terkontaminasi keburukan budaya kota.
  • Bani Saad bin Bakr berbahasa Arab fasih dan asli yang belum terkontaminasi bahasa asing sebagaimana di Makkah.
  • Wanita Bani Saad bin Bakr yang menyusui Nabi adalah Halimah bin Abu Dzu’aib.
  • Suami Halimah bin Abu Dzu’aib adalah Al-Harist bin Abdul- Uza yang berjuluk Abu Kabsyah.
  • Saudara-saudara Nabi dari satu susunan dari wanita tersebut adalah, Abdullah bin Al-Harist, Anisa binti Al-Harist, Hudzafah atau Zudzamah binti Al-Harist
  • Halimah merasakan berkah yang dibawa Nabi kecil ketika menyusuinya. Diantara kisah keberkahan itu adalah : tiba-tiba keledai dan unta yang dipunyai keluarga halimah penuh dengan susu setelah menerima Nabi sebagai anak susuannya padahal sebelumnya keledai dan onta tersebut tidak memiliki air susu barang sedikitpun. Unta tunggan keluarga halimah dan keledainya menjadi kuat setelah membawa nabi dan bersama mereka menuju rumah mereka padahal sebelumnya keledai dan Unta mereka terkenal kelambatan dan kelemahannya. Sepetak tanah yang dimiliki keluarga halimah menjadi subur setelah kedangan Nabi. Domba-domba yang dipunyai keluarga halimah menyongsong (menyambut) kedangan halimah beserta Nabi kecil.
  • Nabi disapih oleh halimah dalam umur dua tahun
  • Halimah membawa Nabi Muhammd setelah beliau memeliharanya selama dua  Tahun sambil berharap agar dikasih kesempatan untuk memeliharanya kembali.
  • Ibunda Nabi mengijinkan kembali kepada halimah untuk mengasuhnya kembali setelah dua tahun dalam pengasuhannya.
  • Terjadi peristiwa pembelahan dada Nabi Oleh Malikat Jibril yang disaksikan oleh teman-teman Nabi.
  • Halimah membawa Nabi Muhammd ke Ibunda Nabi setelah takut akan peristiwa pembelahan dada Nabi oleh Malaikat.
Kembali Kepangkuan Ibunda Tercinta
  • Peristiwa Pembelahan dada Nabi oleh Malikat, adalah alasan menadasar bagi Halimah untuk mengembalikan Nabi Muhammad kecil ke asuhan Ibunda tercintanya.
  • Nabi Muhamad hidup berasama Ibunda beliau sampai pada umur enam tahun.
  • Perpisahan Nabi dengan Ibunda tercintanya pada saat Ibunda beliau beserta Nabi mengunjungi makam ayahnya Abdullah di Madinah, dalam perjalanan pulang dari Madinah itulah Ibunda beliau wafat.
  • Ibunda Nabi dan Nabi beserta rombongan menetap dimadinah selama 1 Bulan.
  • Ibunda Nabi wafat dalam tengah perjalan menuju Makkah dan dimakamkan di sebuah desa yang bernama Abwaa.
  • Sebab-sebab kefwafatan ibunda Nabi adalah karena sakit.
Kembali ke Kakek yang Penuh Kasih Sayang
  • Nabi Muhamad kecil di asuh Abdul Mutholib kakeknya setelah ditinggal wafat oleh Ibundanya.
  • Kasih sayang yang diberikan Abdul Mutholib kepada Nabi Muhamad melebihi kasih sayang yang beliau berikan kepada anak-anaknya. Ibnu Hasyim  berkata “ ada sebuah dipan yang diletakan didepan Ka’bah untuk Abdul Muthaloib. Kerabat-kerabatnya biasa duduk disekeliling dipan itu hingga  Abdul Muthaloib keluar kesana, dan tak seorangpun diantara mereka berani duduk di dipan itu, sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu kali ketika Rosululullah menjadi seorang anak kecil yang montok, beliau duduk diatas dipan itu. Paman-paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk didipan itu. Tatkala Abdul Mutholib melihat kejadian ini, dia berkata “ Biarkanlah Anaku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung. Kemudian Abudl Mutholib duduk bersama beliau di atas dipannya, sambil mengelus punggung beliau dan snantiasa merasa gembira terhadap apapun yang beliau lakukan”.
  • Abdul Muthalib kakek beliau wafat pada delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rosulullah.
  • Sebelum meninggal Abdul Mutholib berpesan kepada anaknya Abu Tholib agar mengasuh Rosullah setelah sepeninggalnya.
Dibawah Asuhan Paman
  • Paman Nabi Muhammad Abu Tholib mengasuh Nabi mulai pasca kewafatan bapaknya Abdul Mutholib.
  • Abu Tholib melaksanakan hak anak saudaranya dengan penuh kasih sayang bahkan melebihi anak-anaknya sendiri.
  • Abu Tholib rela menjalin persahabatan dan permusuhan hanya karena membela Nabi Muhamad.
  • Nabi Muhamad berada dalam asuhan dan lindungan paman belau hingga berumur lebih dari pada empatpuluh tahun.

Daftar Pustaka:

Ibnu Hisyam, Sirah An-Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1375, hlm. 159).
Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 52. 
Roopnaire, J.L & Johnson, J.E., 1993
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 46)




Senin, 28 November 2016

PP AL-MUTAWALLY BOJONG KUNINGAN (Sejarah, dan Kondisi)

Pondok Pesantren al-Mutawally  berada di lokasi yang strategis, karena letaknya (+50 meter dari Jalan Raya Kuningan-Cirebon) tepatnya di Jalan Pesantren No. 177 Desa Bojong Kecamatan Cilimus sehingga mudah dijangkau dari arah Cirebon dan Kuningan. Selain itu juga berdekatan dengan lokasi pusat Pariwisata di Kabupaten Kuningan (Linggarjati dan Sangkanurip).

Nama al-Mutawally diambil dari Abah/Buyut Mutawally atau Thahiyyah atau Sirajurrosyidin yang pada masa penjajahan Belanda merupakan pejuang kemerdekaan yang disegani dan ditakuti oleh Penjajah Belanda. Kebesaran namanya semakin harum karena banyaknya orang dari berbagai kota, terutama daerah Pekalongan, Tegal dan daerah sekitarnya, yang berguru atau menjadi santri Abah Mutawally.

Abah Mutawally  meninggal dunia pada tahun 1957, dan setelah itu anak keturunannya tidak dapat melanjutkan estafet keilmuan dan kepemimpinannya dikarenakan situasi dan kondisi saat itu yang tidak stabil. Akibatnya, pondok pesantren yang didirikan dan dibesarkan oleh Abah Mutawally tidak bisa bertahan. Hanya Mushola yang bernama Sirajurrasyidin yang masih bertahan.

Pada tahun 1989, atas dasar kesadaran dan semangat juang untuk menegakkan Syariat Islam dan melanjutkan semangat juang Abah Mutawally, berkumpullah cucu, cicit, buyut Abah Mutawally dan bersepakat untuk mendirikan Yayasan al-Mutawally yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan Ibadah Sosial. Pada tahun 1990, berdirilah sebuah bangunan yang terdiri 6 kamar yang menjadi cikal bakal Pesantren al-Mutawally.


Karena keterbatasan dana dan sumber daya manusia yang mengelolanya, pemanfaatan terhadap bangunan tersebut belum berjalan maksimal, sehingga kegiatan yang ada hanyalah pengajian yang berjalan seperti di mushola-mushola, yakni pengajian al-Qur’an  dan Tajwid saja dengan diikuti oleh kurang lebih 10 santri kalong karena mereka tidak mondok dan menetap secara permanen.

Pada tahun 1991, Yayasan al-Mutawally di bawah kepemimpinan Drs. K.H. Nunung Abdullah Dunun yang baru pulang dari Tanah Suci Mekah untuk melaksanakan Ibadah Haji memulai upaya upaya terobosan untuk memajukan pesantren, yakni dengan mendirikan lembaga formal SMP Islam al-Mutawally yang saat pertama kali siswanya berjumlah 10 orang, dan keadaan statis ini berjalan sampai dengan tahun 1994-1995 yang jumlah siswa seluruhnya 30 orang dengan tidak diwajibkan tinggal di pesantren, sehingga yang mengikuti pengajian hanya berjumlah 10 orang santri kalong.

Pada tahun pelajaran 1995-1996, pengurus yayasan melakukan terobosan radikal ketika mengubah SMP Islam al-Mutawally menjadi MTs al-Mutawally dan siswa yang direkrut adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu atau anak yatim/piatu yang berjumlah 30 orang dan semuanya diwajibkan menetap di pesantren. Maka sejak saat itu, sistem pesantren mulai berjalan karena adanya santri yang menetap di asrama.
tahun pelajaran 2002/2003, kembali yayasan melakukan terobosan dengan mendirikan Madrasah Aliyah (MA) dengan spesialisasi program keagamaan (MAK). Seiring dengan terbitnya beberapa aturan sebagai tindak lanjut dari UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sebagai upaya mensinergikan antara pesantren dan madrasah, mulai tahun ajaran 2006/2007, spesialisasi madrasah berubah menjadi program Bahasa. Namun karena pemerintah tidak mengakui Bahasa Arab sebagai salah satu prasyarat bagi program ini, program studi MA berubah menjadi program Ilmu Pengetahun Sosial.
Sejak berdirinya hingga akhir tahun pelajaran 2007/2008, pesantren dan Madrasah berjalan secara terpisah dengan sistem pendidikan mandiri. Namun seiring dengan program rekonstruksi kelembagaan dan sistem pendidikan, mulai tahun ajaran 2008/2009 pesantren dan madrasah diintegrasikan di bawah satu struktur organisasi yang disebut Kuliyatul Mu’allimin al-Mutawally atau disingkat dengan KMA hingga sekarang.

Dikutip dari.

Skripsi Tahun 2015 yang berjudlul. 

UPAYA PENGURUS DALAM PEMBERDAYAAN DAN HASIL-HASILNYA BAGI KELANGSUNGAN PENDIDIKAN ANAK YATIM DI PONDOK PESANTREN AL-MUTAWALLY
DESA BOJONG KECAMATAN CILIMUS
KABUPATEN KUNINGAN 
Peneliti.  
YUYUN YULIYAWATI
NIM: 59410272 

Sabtu, 26 November 2016

PENGERTIAN PESANTEREN

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik.  

Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. 

Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.  Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian,pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru-murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.

Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut: 

Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan,(Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam  pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.

Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).


Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidiÿÿn modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.  

Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. 

  
Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren, khususnya, dan tujuan pendidikan Islam,pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). 

Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri.

Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri.


Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;

Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. 

Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.  

Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. 

Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut. 

Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasi, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan.

Daftar Pustaka:
  • Abdurrohman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta : Lkis, 2001)
  • Sartono Karto Dirjo, Sejarah Nasional, (Jakarta : Balai Pustaka, 1977)
  • Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan bintang, 1983)
  • Imam Zarkasyi, Pembangunan Pondok Pesantren dan Usaha Untuk Melanjutkan Hidupnya” dalam Al jami’ah No. 5-6 Th. Ke –IV Sept – Nop. 1965 (Yogyakarta : IAIN Sunan kalijaga, 1965)

PP.ALMUAYYAD SURAKARTA (Sejarah,Pendiri, dan Pendiriannya)

Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta terletak di kampung Mangkuyudan dan tepatnya di Jalan KH. Samanhudi No. 64 Mangkuyudan Surakarta. Pemilihan lokasi ini dinilai sangat strategis bagi para santri yang mondok di Al-Muayyad, baik santri yang berpendidikan formal maupun non formal.

Adapun batas-batas lokasi Pondok Pesantren A1-¬Muayyad Surakarta adalah sebagai berikut:
  • Sebelah barat berbatasan dengan kampung Tedipan.
  • Sebelah timur berbatasan dengan karnpung Tegalsari
  • Sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan Purwosari.
  • Sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Bumi.
Nama Al- Muayyad secara harfi’ah berasal dari kata “Ayyada” yang berarti menguatkan, sehingga yang dimaksud Al-Muayyad berarti sesuatu yang dikuatkan. Harapan yang tersirat dari nama tersebut adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan atau didukung oleh kaum muslimin. 

Nama Al-Muayyad diberikan oleh ulama karismatik yang bernama KH. Al-Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan, Tegalgondo, Wonosari Klaten. Semula nama ini untuk sebuah Masjid di komplek pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama sebuah lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren Al-Muayyad.

Kepemimpinan pondok pesantren Al-Muayyad ini terbagi dalam tiga generasi, yaitu Masa KH. Abdul Mannan, KH. Ahmad Umar Abdul Manan dan pada ketiga di pegang oleh KH. Abdul Rozaq Shofawi.

1.Generasi Pertama (KH. Abdul Mannan)

Al Muayyad dirintis tahun 1930 oleh Simbah KH. Abdul Mannan di atas tanah seluas 3.500 m2 yang diwakafkan sahabat karibnya yaitu Ahmad Shofawi di Kampung Mangkuyudan Kalurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, Kotamadya Surakarta. Semula merupakan pondok pesantren dengan corak Tasawuf dalam arti pesantren dengan kegiatan utama latihan pengamalan syari'at Islam dan belum melakukan pendalaman ilmu-ilmu agama secara teratur. Titik beratnya melatih para santri dengan perilaku keagamaan. Pengajian yang diselenggarakan berkisar pada akhlak. 

Nama kecil Simbah KH. Abdul Mannan adalah Tarlim, sebagaimana diberikan oleh ayahandanya. Kyai Chasan Adi, yang seorang Demang di Glesungrejo Baturetno Wonogiri. Setelah diterima nyantri di Kadirejo diganti oleh Kyai Ahmad menjadi Bukhori. Dan usai menunaikan ibadah kaji tahun 1926, menjadi Abdul Mannan. 


Selama nyantri di situ, Tarlim yang menjadi Bukhori selalu mengisi bak mandi Kyai yang dibangunnya sendiri. Tiap dini hari sebelum subuh, bak mandi diisi penuh, perlahan-lahan, tanpa suara, tanpa sepengetahuan orang lain. Bak yang sudah penuh tetap diisi sampai air menyebar. Tufu'ul atau harapan beliau adalah agar kelak ilmu anak keturunannya mampu menyebar sebagaimana air yang tumpah dari bak, memberikan manfaat yang menyejukkan kepada sesama.

Di pondok itulah tumbuh persahabatan antara beliau dengan K.H. Ahmad Shofawi, santri putra hartawan yang shalih. Keduanya memiliki cita-cita tinggi. dan keduanya juga dikenal wira'i (cermat dan hati-hati menjalankan syari'at), suka riyadzah (prihatin demi cita-cita luhur), serta taat kepuda para guru dan Kyai. Remaja Buchori bercita-cita menjadi hafidh Al Qur'an dan menyebarluaskan ilmu agama Islam ke masyarakat. Idaman menjadi hafidhul Qur'an tidak bisa terwujud. Hal itu disyaratkan oleh Kyai Ahmad saat menenangkan Bukhori yang menangis mengikuti semaan Al-Qur'an yang menampilkan remaja hafidzul Qur'an berusia 11 tahun. Isyarat Kiai Ahmad, kelak anak keturunannyalah yang mampu mewujudkan cita-cita itu. Dan benar tiga putra dan tiga putri beliau berhasil menjadi hafidz dan hafidzah, 5 diantaranya ketika beliau masih hidup. 

Sementara KH. Ahmad Shofawi memiliki 3 cita-cita: berkediaman di dekat (mangku) Masjid, menunaikan ibadah haji dengan kapal "berbendera Islam", dan memiliki anak-anak yang mangku (mengasuh) pondok pesantren. Ketiga cita-cita itu tercapai. Bahkan beliau mampu mendirikan/membangun Masjid Tegalsari di Kampung Tegalsari Kelurahan Bumi Kecamatan Laweyan Surakarta, tahun 1928, dengan arsitektur dan bahan lain yang amat tinggi nilainya. Arsitek Masjid itu adalah  K.H.R. Prof. Mohammad Adnan yang juga pendiri PTAIN kini UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

KH. Ahmad Shofawi menunaikan ibadah haji dengan kapal yang dicarter oleh Pakistan, dan karenanya "berbendera Islam". Kaitannya dengan cita-cita kedua, akhirnya putra beliau, KH. Abdul Rozaq Shofawi menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad menggantikan pamandanya KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang wafat tahun 1980 dibantu oleh kedua adik beliau, KH.Abdul Mu'id Ahmad dan H. Muhammad Idris Shofawi. Sementara putri bungsu beliau, Nyai Siti Maimunah Baidlowi, mendampingi suaminya mengasuh Pandok Pesantren Sirojuth Tholibin di Brabu Kedungjati Grobogan. 

Dalam generasi pertama ini ilmu-ilmu agama yang dikaji masih tingkat daar dan belum teratur, karena para santrinya masih terbatas pada kerabat dekat dan para karyawan Perusahaan batik "Kurma" milik KH. Ahmad Shofawi sendiri, dan Kyai Damanhuri (seorang pengelana dari Cilacap). Kyai Damanhuri inilah yang memberikan isyarat, saat KH. Ahmad Umar Abdul Mannan masih nyantri di pondok-pondok pesantren, bahwa kelak Mangkuyudan akan menjadi pesantren besar.

2.Generasi Kedua (KH. Ahmad Umar Abdul Mannan)

Hanya 7 tahun Simbah KH. Abdui Mannan memimpim, Pesantren, sebab tahun 1937 kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putranya, KH. Ahmad Umar Abdul Mman, waktu itu berusia 21 tahun, sekembali beliau dari belajar di pesantren-pesantren : Krapyak (Yogya), Termas (Pacitan), dan Mojosari (Nganjuk). Mulailah Al-Muayyad sebagai sebuah pondok pesantren dengan kurikulum yang menitik beratkan pada pendalaman ilmu-ilmu agama Islam.

Pengajian Al- Qur'an dan kitab kuning makin teratur, sehingga dipandang perlu mendirikan Madrasah Diniyah pada tahun 1939. sekalipun beberapa madrasah/sekolah kemudian menyusul didirikan. Al-Muayyad dikenal sebagai Pesantren  Al - Qur'an. Hal ini dimungkinkan karena pengajian Al-Qur'an menjadi inti pengajaran hingga kini dan K.H. Ahmad Umar Abdul Mannan sendiri dikenal sebagai ahli di bidang Al-Qur'an dengan sanad  (silsilah ilmu) dari KH. R. Mohammad Moenawwir, pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta. 

Nama Al-Muayyad diberikan oleh seorang ulama besar Guru/Mursyid Thariqah Naqsyabandiyah yang bernama KH. M. Manshur, pendiri Pondok Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo, Wonosari, Klaten. Semula nama ini untuk Masjid di kompleks pondok, yang kemudian dipergunakan untuk nama semua lembaga dan badan di lingkungan Pondok Pesantren. Al-Muayyad dari kata ayyada berarti sesuatu yang dikuatkan. Tafa'ul atau harapan yang tersirat di dalamnya adalah Pondok Pesantren yang dikuatkan/didukung oleh kaum muslimin. 

Sejalan dengan meluasnya program pendidikan, para Kyai yang mendukungpun bertambah: Tercatat antara lain : KH. Abdullah Thohari, Kyai Ahmad Muqri, Kyai Idris, Kyai Danuri, Kyai Sono Sunarto, KH. RNg. M. Asfari Prodjopudjihardjo (Mbah Bei), KH.M.Shobari, KH.Moh. Yasin, KH.R.Moh. Jundi, KH.M.Suyuthi, KH. Abdul Ghoni Ahmad Sadjadi, KH. MochtarRosyidi, Kiai M.Kofi'i, dan KH.Ahmad Musthofa yang kemudian mendirikan pondok pesartren Al-Qur'ani di sebelah utara Al-Muayyad. 

Sebagai pesantren yang dirintis dan tumbuh di masa perjuangan kemerdekaan, riwayat panjang menyertai Al-Muayyad. Di waktu itu banyak santri dan Kyai yang malam hari ikut bergerilya, sementara siang hari sibuk mengaji dan belajar. sebagian besar juga turut khidmat/kerja bakti sukarela sebagai tukang dalam membangun masjid, asrama santri dan fasilitas pesantren lainnya. 

Masjid di tengah kompleks Al-Muayyad, dibangun bulan Maret 1942, berbarengan dengan kedatangan balatentara Jepang di tanah air. Batu penyangga keempat tiang utama (saka guru) Masjid ini berasal dari saka guru bekas kediaman Pangeran Mangkuyudan. Tahun 1947 dibangun asrama putra, 12 kamar. Begitu selesai, meletus Agresi Belanda l. Para santri dan Kyai Pejuang mendapatkan informasi bahwa Tentara Pendudukan akan menjadikan asrama santri itu sebagai barak. 

Kyai-kyai sepuh menasihatkan agar para santri tabah dan bersedia berkorban. Bangunan permanen yang masih baru itu terpaksa dirusak agar tak layak huni. Dengan berat hati para santri memecah genting, mendongkel pintu dan jendela, mengikat dan mencoret-coret tembok dengan arang, memiringkan tiang-tiang, dan bahkan menanami halamannya dengan ramput, singkong, dan sayuran secara tidak teratur untuk menampakkan kesan bahwa pondok ini tak layak huni sebagai barak tentara. Dan benar, asrama itu tidak jadi dipergunakan sebagai barak. Dalam situasi yang menegangkan itupun, kegiatan mengaji tetap berlangsung meski secara sembunyi-sembunyi dengan penerangan lampu kecil minyak tanah (ublik). 

Justru karena letaknya yang di tengah kota dan sarat dengan nuansa keagamaan, Al-Muayyad tidak tampak sebagai tempat berhimpun para pejuang, baik yang tergabung dalam kesantuan hizbullah, sabilillah maupun barisan kyai.


Setelah situasi tenang dengan kemenangan di pihak Tentara Nasional Indonesia, tahun 1952, asrama itu dibangun kembali. Masjid diperluas hingga hampir dua kali lipat. Para santri berdatangan dari berbagai daerah yang lebih jauh. Namun situasi tenang ini tidak berlangsung lama, sebab agitasi PKI tahun 1960-an membangkitkan suasana perjuangan di kalangan, santri dan Kyai Al-Muayyad. Pondok menjadi ajang pelatihan Banser (Barisan Ansor Serbaguna) dan Fatser (Fatayat Serbaguna). 

Tragedi Nasional G 30 S/PKI  tahun 1965, sempat melumpuhkan kegiatan mengaji para santri. Sebagian aktif bersama-sama ABRI menumpas G 30 S/PKI, dan sebagian lagi diminta pulang untuk menjaga keamanan. Alhamdulillah tragedi berakhir dan suasana tenang kembali tercipta. 

Refleksi atas sejarah itu melatarbelakangi para santri dan pengasuh Al-Muayyad untuk menyebut almamaternya sebagai Kampus Kader Bangsa Indonesia (KKBI). 


Ciri khas KH. Ahmad Umar Abdul Mannan di bidang kepemimpinan adalah kuatnya kaderisasi para kerabat, ustadz dan santri dengan membagi tugas dan tanggung jawab kepesantrenan kepada mereka. Beliaulah yang memprakarsai pembentukan Lembaga Pendidikan Al-Muayyad (yang kemudian menjadi Yayasan), penyelenggaraan Pelatihan Teknis Tenaga Kependidikan bagi sekolah  Madrasah Ahlussunnah Wal Jama'ah (PEPTA). Di masa beliau pula Al-Muayyad menjadi anggota Rabithah al- Ma'ahad al- Islamiyyah  (RMI) Ikatan Pondok Pesantren.

3.Generasi Ketiga (KH. Abdul Rozaq Shofawi)

Setelah KH. Ahmad Umar Abdul Mannan wafat tahun 1980, dalam usia 63 tahun, kepemimpinan Al-Muayyad diserahkan kepada KH. Abdul Rozaq Shofawi. Beliau nyantri di Krapyak Yogyakarta di bawah asuhan KH. Ali Maksum, sambil kuliah di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga dan juga pada KH. Hasan Asy'ari Mangli Magelang. Selesai nyantri pada Mbah Mangli, tepat 3 tahun, KH. Ahmad Umar Abaul Mannan wafat. 

Ibunda KH. Abdul Rozaq Shofawi adalah Nyai Siti Musyarrofah binti KH. Abdul Mannan, seorang hafidzah pada usia 16 tahun, yang diperistri KH. Ahmad Shofawi setelah istri pertama wafat. Dari pernikahan itu lahir KH. Abdul Rozaq Shofawi, Nyai Hj. Siti Mariyah Ma'mun, dan Siti Mun’imah yang wafat dalam usia 35 hari, 30 hari setelah ibunda wafat.


Setelah Nyai Siti Musyarrofah wafat KH. Ahmad shofawi memperisteri Nyai Hj. Shofiyah binti KH. Ahdul Mu'id dan menurunkan KH. Abdul Mu'id Ahmad, H. Muhammad Idris Shofawi, serta Nyai Hj. Siti Maimunah Baidhlowi. 

Atas nasehat KH. Muhammad Ma'shum Lasem Rernbang, sepeninggal KH. Ahmad Shofawi, Nyai Hj. Shofiyah diperisteri oleh KH. Ahmad Umar Abdul Manan. Pernikahan ini tidak dikaruniai seorang putra pun. 

Termasuk kejadian penting yang selalu diingat dalam generasi ketiga ini adalah terbakarnya kompleks pondok tanggal 31 Agustus 1982, 15 hari sebelum keberangkatan Pengasuh dan 7 sesepuh Al-Muayyad ke tanah suci menunaikan ibadah haji, yang menghabiskan 13 kamar santri, dapur santri, kediaman pengasuh dan perpustakaan KH. Ahmad Umar Abdul Mannan yang menghimpun ribuan kitab dan bahan pustaka yang tak ternilai harganya. 


Musibah besar ini  mengundang simpati besar masyarakat yang bergotong royong memberikan penampungan, keperluan makan minum, dan keperluan sekolah bagi 275 santri putra yang kehilangan tempat tinggal dan perlengkapannya. Masyarakat juga bahu membahu dengan pengurus merehabilitasi asrama dan kediaman pengasuh, sehingga dalam waktu 40 hari bangunan-bangunan itu telah pulih kembali.

Dalam generasi ketiga inilah, Al-Muayyad melestarikan sistem kepesantrenan yang diidamkan dan dikembangkan oleh dua generasi pendahulunya. Yayasan yang menjadi tulang punggung manajemen pesantren diaktifkan, sehingga pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab nara pengelola bisa dibakukan. Dengan pola semacam itu, Al-Muayyad berkeinginan mampu mewadahi dukungan masyarakat luas bagi penyiapan generasi muda dalam wadah pesantren dengan manajemen terbuka, karena pesantren sesungguhnya milik masyarakat. 


Sampai dengan kini PP Almuayyad, memiliki fasilitas pendidikan sebagaimana berikut:
  • 1930-1937 : Pengajian Tasawuf
  • 1937-1939 : Pengajian Al-Quran
  • 1939 : Berdiri Madrasah Diniyyah
  • 1970 : Berdiri MTs dan SMP
  • 1974 : Berdiri Madrasah Aliyah
  • 1992 : Berdiri Sekolah Menengah Atas
  • 1995 : Berdiri Madrasah Diniyyah Ulya

(Sumber PP. Almuayyad. http://almuayyad.org).

Jumat, 25 November 2016

SITI AMINAH DAN PUSARANYA

Nama lengkap beliau adalah Aminah Az- Zuriyah binti Wahab (Aminah binti Wahab) beliau adalah ibu yang melahirkan Nabi Muhammad, Nabi penutup para Nabi. Aminah menikah dengan Abdullah. Tidak terdapat keterangan mengenai lahirnya beliau, dan menurut sejarah beliau meninggal pada tahun 577 M ketika dalam perjalanan pulang menuju ke Mekah setelah sebelumnya berada di Yatsrib (Madinah) beserta Muhammad SAW kecil dalam rangka mengunjungi pamannya dan berziarah ke pusara suaminya..

Riwayat lain menyatakan  Ibu Nabi wafat ketika Nabi berumur 4 tahun, sementara yang lainnya menyatakan 6 Tahun.

Dalam perjalanan pulang dari madinah itu ikut juga kakek beliau Abdul Muthalib (ada riwayat lain “Ummu Aiman yang ikut bersama ibu Nabi dan dialah yang membawa Nabi kembali ke Makkah”). 

Dalam tengah-tengah perjalanan pulang dari Madinah ke Mekah Ibu Nabi SAW sakit dan kemudian wafat, dan tempat beliau wafat tersebut nantinya sekaligus dijadikan tempat dikuburkannya. Desa tempat meninggal dan dikuburkanya Aminah RA bernama Desa Abwaa’ suatu Desa yang terletak diantara Makkah dan Madinah.

Demikian Desa Abwa menurut peta dimana di desa tersebut telah dikubur jasad mulia Ibunda Nabi Muhamad SAW.

 

Kamis, 24 November 2016

PP. AL-ISTIQOMAH CIREBON


PP. al-Istiqomah adalah merupakan Pesantren yang terletak di Kanggraksan, Harjamukti Kota Cirebon. Pendiri pesantren Al-Istiqomah adalah KH. Abdurrahman bin Anwar, beliau dilahirkan di sebuah desa kecil yang bernama Pesawahan-Sindang Laut Cirebon. Sebagai sosok seorang KH. Abdurrahman, beliau memiliki kegemaran yang berbeda dengan masyarakat Pasawahan pada saat itu, yang lebih menonjol pada diri beliau adalah rasa kecintaan yang sangat tinggi terhadap ilmu pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan keagamaan, perilaku ini tercerimin lewat kebiasaannya dalam mengotak-atik beberapa kitab yang menjadi milik bapaknya, walaupun dia sendiri pada saat itu tidak mengerti tentang isi dan nama kitab tersebut, nampaknya sifat seperti ini merupakan warisan dari kedua orang tuanya yang pada saat itu sangat gigih memperjuangkan agama islam terutama di sela-sela berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kaum penjajah.

Pendiri PP.al-Istiqomah Kanggraksan


KH. Abdurrahman, semenjak masa kecilnya dihabiskan untuk mengisi, membina serta menggali ilmu pengetahuan agama dari bapaknya H. Anwar, beliau merupakan murid pertama yang sekaligus menjadi orang anak laki-laki yang dibanggakan oleh bapaknya untuk meneruskan perjuangannya menegakkan panji-panji agama islam.

Dalam perjalanan sejarah hidupnya, nampaknya beliau memiliki seorang bapak yang sangat bijaksana sekali, sehingga pada suatu saat beliau di suruh berangkat ke Buntet Pesantren di Cirebon untuk menggali ilmu pengetahuan tentang agama Islam, dan disana beliau sampai 2 tahun (1935-1937) menggali ilmu pengetahuan agama yang selanjutnya berangkat ke pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur untuk menggali ilmu yang sama dari tahun 1983-1942).

Sepulangnya beliau dari pesantren Tebu Ireng Jombang, beliau melihat beberapa kejanggalan yang terjadi pada kehidupan masyarakat Pasawahan pada saat itu yang cenderung kurang memperhatikan nilai-nilai keagamaan secara seksama, sehingga hal ini terbukti dengan perilaku kehidupan masyarakat yang cenderung melanggar norma kehidupan beragama, seperti merebaknya paham-paham kolonial yang menjerak kehidupan mereka, sehingga budaya adu domba pada saat itu sudah mulai merebak pada kehidupan masyarakatnya, bahkan yang sangat menyedihkan kurangnya sarana belajar bagi anak-anak pada saat itu.

Melihat ini semua, membuka mata bagi seorang Abdurraman Anwar beserta saudaranya untuk membuka sebuah lembaga pendidikan Islam dengan mendirikan madrasah, namun baru saja berjalan satu tahun, madrasah ini akhirnya ditinggalkan oleh beliau, yang selanjutnya pengelolaan diserahkan pada sebagian masyarakat sekitar kampung untuk mengelolanya, sebab pada saat yang bersamaan beliau bersama penduduk lainnya terpanggil untuk berjuang membebaskan bumi nusantara ini dari tangan penjajah.

Dalam pejalanan serta sejarah kehidupannya beliau hijrah dari kampung halamnya menuju desa Kanggraksan-Cirebon (1944), yang selanjutnya beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan madrasah yang diberi nama Salafiyah, namun demikian halnya yang terjadi pada lembaga ini baru berjalan beberapa tahun beliaupun terpanggil lagi untuk membahsmi penjajah Belanda (1946-1950), baru setelah perang selesai madrasah tersebut di buka lagi untuk dapat dipergunakan sebagai lembaga pendidikan.

Selama hidupnya, beliau selain aktif berkecimpung di bidang pengajian dan majlis taklim, belaiu juga aktif di beberapa organisasi, seperti : Anggota pandu ansor tahun, 1939 Menjadi anggota GP ansor, tahun 1943 Anggota tanfidiyah NU ranting Harjamukti, tahun 1953 Ketua Dakwah MUI Kecamatan Cirebon, tahun 1953 Anggota syuriah NU kotamadya Cirebon, tahun 1971 Mustasyar di NU Kotamadya Cirebon dari tahun 1994, sampai dengan wafatnya.

Perjalanan karir serta sejarah hidupnya dalam mendirikan serta membina pesantren menjadi sebuah lembaga pendidikan yang berakte notaris bukanlah merupakan perjuangan yang sepele, sebab hal ini dibenturkan dengan berbagai permasalahan-permasalahan yang terjadi baik rintangan yang datang dari masyarakat itu sendiri ataupun dari penguasa yang memberikan kebijakan pada saat itu, terlebih dihadapkan pada perjuangan membebaskan diri dari belenggu penjajah Belanda, namun pada akhirnya perjuangan ini ditandai dengan diusulkannya akte notaris bagi lembaga pendidikan Islam, pesantren Al-Istiqomah bahkan KH. Abdurrahman sebagai sosok kyai yang sangat disegani baik oleh santrinya, masyarakat sekitar ataupun oleh pemerintah Kota Cirebon, sebab kyai Abdurrahman dikenal dengan prinsip-prinsipnya yang sangat teguh berdasarkan kepada Al Qur’an dan hadist, sehingga hal seperti ini terlihat dengan budaya yang mencerminkan nilai-nilai keislaman, sehingga ktika mengunjungi pesantren ini maka akan terlihat sebuah tulisan “batasan wilayah laki-laki dan batasan wilayah perempuan”, artinya dilarang santri laki-laki mengunjungi santri perempuan atau sebaliknya tanpa sepengetahuan ustadz serta alasan yang jelas.